English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Jumat, 08 Juni 2012

“Kebanyakan”

“Kebanyakan”AL-QURAN SERING MENYEBUT istilah “kebanyakan” (misalnya, “…aktsaruhum la ya’qilun”) dengan menunjukkan kualitas mental yang buruk, mudah terpengaruh, tidak berpikir jernih, mudah lalai dan lengah, mudah ingkar, tidak beriman, fasik, tidak bersyukur dan mudah mengalami kesesatan.
Orang-orang kebanyakan adalah orang yang merugi. Meski tidak menyebut dengan ungkapan “kebanyakan”, tetapi yang dimaksud dengan merugi pada surat al-Ashr adalah orang kebanyakan. Bahkan lebih mendasar lagi, seseungguhnya setiap manusia itu merugi, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam surat at-Tin, orang yang selamat dari asfala safilin merupakan perkecualian, yakni “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.
Orang kebanyakan adalah golongan yang tidak peka., tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa, dan mudah digiring opininya. Orang kebanyakan adalah mereka yang tidak bersyukur (dan agaknya kita masih termasuk yang demikian). Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung-kampung halaman mereka, sedangkan mereka berribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, ‘Matilah kamu’ kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi ‘kebanyakan’ manusia tidak bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]: 243).
Kebanyakan bsiskan dan yang serupa dengan itu merupakan sampah. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Allah berfirman, “Tidak ada kebaikan pada ‘kebanyakan’ najwa mereka, kecuali najwa dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari ridha Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS an-Nisa [4]: 114).
Najwa adalah bisikan, obrolan atau perbincangan. Ia juga berdekatan maknanya dengan kalam (ucapan). Ibnu katsir menerangkan bahwa tidak ada kebaikan dalam najwa manusia, kecuali najwa orang-orang yang mengungkapkan ketiga hal itu. Ibnu Katsir mendasarkan pada hadits riwayat Ibnu Mardawih, “Semua ucapan anak Adam memberatkannya, kecuali berdzikir kepada Allah “Azza wa Jalla, menyuruh kepada yang ma’ruf, atau melarang dari kemungkaran.” (HR Ibnu Mardawih).
Kebanyakan najwa adalah sampah dan sia-sia, tetapi kebanyakan orang mengikutinya, kecuali orang-orang yang peka mata hatinya. Mengikuti pendapat kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi akan mengantarkan kita kepada kesia-siaan; hidup tanpa makna, mati tanpa arti.
Jika peribahasa latin mengatakan Vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan), maka al-Quran mengingatkan kita, “Jika kamu mengikuti ‘kebanyakan’ orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS al-An’am [6]: 116).
Mengikuti logika kebanyakan akan membawa kita pada kejumudan, kemunduran dan bahkan kehancuran. Itu sebabnya perlu orang-orang yang ahli dan mumpuni untuk menangani urusan umat. Mereka harus memiliki kemampuan yang benar-benar dapat diandalakan, sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Jika urusan tidak dipegang oleh ahlinya,maka tunggulah saatnya kehancuran datang. Apalagi jika kita serahkan begitu saja kepada orang kebanyakan karena kita menganggap seluruh masyarakat telah cukup dewasa untuk memilah.
Benarlah kata ‘Ali bin Abi Thalib,  أطع العاقل تغنم و إعص الجاهل تسلم
Taatilah orang-orang yang berakal niscaya kamu beruntung, dan jauhilah pendapat orang-orang yang bodoh niscaya kamu akan selamat.”
Wallahu a’alam bishawab. Semoga Allah menolong kita.*
(disalin dari buku Membuka Jalan ke Surga karya Muhammad Fauzil Adhim)