AL-QURAN SERING MENYEBUT istilah “kebanyakan” (misalnya, “…aktsaruhum la ya’qilun”)
dengan menunjukkan kualitas mental yang buruk, mudah terpengaruh, tidak
berpikir jernih, mudah lalai dan lengah, mudah ingkar, tidak beriman,
fasik, tidak bersyukur dan mudah mengalami kesesatan.
Orang-orang kebanyakan adalah orang yang
merugi. Meski tidak menyebut dengan ungkapan “kebanyakan”, tetapi yang
dimaksud dengan merugi pada surat al-Ashr adalah orang kebanyakan.
Bahkan lebih mendasar lagi, seseungguhnya setiap manusia itu merugi,
kecuali bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling
menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam surat at-Tin, orang yang
selamat dari asfala safilin merupakan perkecualian, yakni
“kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka
pahala yang tiada putus-putusnya”.
Orang kebanyakan adalah golongan yang
tidak peka., tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa, dan
mudah digiring opininya. Orang kebanyakan adalah mereka yang tidak
bersyukur (dan agaknya kita masih termasuk yang demikian). Allah Ta’ala
berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar
dari kampung-kampung halaman mereka, sedangkan mereka berribu-ribu
(jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka,
‘Matilah kamu’ kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah
mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi ‘kebanyakan’ manusia tidak
bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]: 243).
Kebanyakan bsiskan dan yang serupa dengan itu merupakan sampah. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Allah berfirman, “Tidak
ada kebaikan pada ‘kebanyakan’ najwa mereka, kecuali najwa dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat
demikian karena mencari ridha Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya
pahala yang besar.” (QS an-Nisa [4]: 114).
Najwa adalah bisikan, obrolan atau perbincangan. Ia juga berdekatan maknanya dengan kalam (ucapan). Ibnu katsir menerangkan bahwa tidak ada kebaikan dalam najwa
manusia, kecuali najwa orang-orang yang mengungkapkan ketiga hal itu.
Ibnu Katsir mendasarkan pada hadits riwayat Ibnu Mardawih, “Semua
ucapan anak Adam memberatkannya, kecuali berdzikir kepada Allah “Azza wa
Jalla, menyuruh kepada yang ma’ruf, atau melarang dari kemungkaran.” (HR Ibnu Mardawih).
Kebanyakan najwa adalah sampah
dan sia-sia, tetapi kebanyakan orang mengikutinya, kecuali orang-orang
yang peka mata hatinya. Mengikuti pendapat kebanyakan orang-orang yang
ada di muka bumi akan mengantarkan kita kepada kesia-siaan; hidup tanpa
makna, mati tanpa arti.
Jika peribahasa latin mengatakan Vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan), maka al-Quran mengingatkan kita, “Jika
kamu mengikuti ‘kebanyakan’ orang-orang yang di muka bumi, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah).” (QS al-An’am [6]: 116).
Mengikuti logika kebanyakan akan membawa
kita pada kejumudan, kemunduran dan bahkan kehancuran. Itu sebabnya
perlu orang-orang yang ahli dan mumpuni untuk menangani urusan umat.
Mereka harus memiliki kemampuan yang benar-benar dapat diandalakan,
sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Jika urusan tidak
dipegang oleh ahlinya,maka tunggulah saatnya kehancuran datang. Apalagi
jika kita serahkan begitu saja kepada orang kebanyakan karena kita
menganggap seluruh masyarakat telah cukup dewasa untuk memilah.
Benarlah kata ‘Ali bin Abi Thalib, أطع العاقل تغنم و إعص الجاهل تسلم
“Taatilah orang-orang yang berakal niscaya kamu beruntung, dan jauhilah pendapat orang-orang yang bodoh niscaya kamu akan selamat.”
Wallahu a’alam bishawab. Semoga Allah menolong kita.*
(disalin dari buku Membuka Jalan ke Surga karya Muhammad Fauzil Adhim)