English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Jumat, 08 Juni 2012

Ketika Perselisihan Harus Terjadi

Ketika Perselisihan Harus TerjadiDalam interaksi manusia, baik yang menyangkut beragama maupun duniawi, seringkali kita dapati perselisihan pendapat, pertentangan atau ketidaksetujuan antara satu dengan yang lainnya. Perselisihan ini kadang tidak bisa dielakkan, atau bahkan mungkin hal ini menjadi sesuatu yang dibutuhkan dan penting. Dalam situasi tertentu, kebaikan atau sesuatu yang menguntungkan manusia akan didapat manakala terjadi perselisihan atau perbedaan.
Kita ketahui dengan pasti, bahwa manusia diciptakan Allah Ta’ala berbeda. Dengan kebijaksanaan-Nya, manusia dianugerahi beragam karakter, bahasa, bentuk fisik, warna kulit, dan begitu banyak perbedaaan lainnya. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana menjadikan perbedaaan-perbedaan yang ada untuk sesuatu yang positif, bukan sebaliknya perbedaan yang ada menjadi sebab munculnya konflik.
Maka dalam hal ini, menyatukan hati lebih penting daripada menyamakan pikiran dan gagasan.
Proses mengubah perbedaan atau ketidaksetujuan menjadi hal positif, sejatinya menunjukkan niat baik sekaligus melihat permasalahan yang ada secara lebih komprehensif. Maka dari itu, upaya untuk terus memahami seseorang yang berbeda pendapat dengan kita adalah penting. Namun tentu tidak hanya terbatas pada hal ini saja. Karena, seringkali perbedaan pendapat, kepentingan, cara pandang atau pendapat, ternyata tidak bisa diselaraskan hanya dengan mengetahui persoalan yang terjadi atau dengan memahami cara pandang seseorang. Pada titik ini, jangan sampai kesimpulan sikap atau penilaian yang muncul bisa menumpulkan kepekaan hati kita kepada yang lain.
Sisi lain yang perlu kita tonjolkan ketika berusaha untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada adalah, kita harus selalu fokus pada hal-hal yang kita setujui bersama, dan berusaha menjalin kerjasama dalam kepentingan yang sama. Ketika ini bisa direalisasikan, akan ada banyak peluang positif yang dapat diraih bersama. Hal yang sama sebenarnya berlaku pula dalam hal-hal yang itu menyangkut persoalan agama.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan upaya-upaya kooperatif tadi, diperlukan waktu serta perhatian kita. Dan Al Quran dan Sunnah sesungguhnya telah memerintahkan akan hal ini. Begitu juga pengalaman sejarah menunjukkan kepada kita, dalam interaksi antar sesama yang didasari semangat kebaikan senantiasa memberikan hasil terbaik. Juga memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kita mesti bekerja sama di atas kesamaan prinsip-prinsip dan keyakinan serta untuk mencapai kebaikan bersama.
Akan tetapi, kita tidak boleh meniadakan perbedaan yang ada, entah itu perbedaan yang substansial ataupun tidak. Kita tidak perlu terlalu sensitif dengan perbedaan yang ada, karena bisa jadi hal itu justru akan menguasai pikiran dan perasaan kita. Sehingga penting bagi kita untuk senantiasa menguatkan ikatan hubungan yang sudah terjalin, agar perbedaan-perbedaan yang muncul tidak melahirkan sebuah hubungan yang dibangun di atas perselisihan, penuh rahasia, dan kepalsuan.
Hidup bukanlah sebuah pertempuran. Dengan kata lain, bagaimana kita menyatakan ketidaksetujuan dan perbedaan pendapat yang kita miliki secara beradab, sekaligus pula menunjukkan persetujuan akan komitmen bersama.
Inilah sebuah sikap moral dan pendirian yang benar.
Sikap ini pula yang akan membedakan antara kebenaran yang tepat berdasarkan pemahaman dengan nafsu yang menipu karena egoisme semata. Sebuah sikap yang akan memberikan kemenangan dalam sebuah konflik abadi –sebuah konflik pada setiap diri kita dalam mengenyahkan hawa nafsu dan niat-niat terselubung yang kadang menyamar dalam wujud “niat baik”, dan maksud aslinya sulit diindentifikasi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى ٦ أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى ٧

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena Dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al ‘Alaq: 6-7)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat[1318] dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
(QS. Ghafir: 19)
Di sini, keikhlasan hati sangatlah penting. Setiap upaya kita dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi, membutuhkan ketundukan hati kita kepada Allah. Menghormati hak-hak orang lain dan bersedia memberikan pintu maaf dan pemakluman atas sikap yang menyakiti dan menghina, sekalipun cacian dan hinaan itu ditujukan kepada kita.
Kita mesti ingat bahwa, berkata jauh lebih mudah dibanding berbuat (beramal), Ketika kita harus berbuat sesuatu baik itu dalam kehidupan pribadi, lembaga, masyarakat dan negara, maka  kita harus meniadakan segala bentuk kepicikan ego pribadi (hawa nafsu) dan berusaha mengedepankan kejujuran serta  integritas.
Terakhir, sebuah doa dari al Quran yang sudah seharusnya kita ingat dan kita panjatkan kepada Allah Ta’ala:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا، رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“…Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.
Oleh: Ihsan ‘Athif
(diadaptasi dari artikel berjudul Learning How to be Reconciled to Disagree, karya Dr. Salman al Audah)

0 komentar:

Posting Komentar