Dalam interaksi manusia, baik yang
menyangkut beragama maupun duniawi, seringkali kita dapati perselisihan
pendapat, pertentangan atau ketidaksetujuan antara satu dengan yang
lainnya. Perselisihan ini kadang tidak bisa dielakkan, atau bahkan
mungkin hal ini menjadi sesuatu yang dibutuhkan dan penting. Dalam
situasi tertentu, kebaikan atau sesuatu yang menguntungkan manusia akan
didapat manakala terjadi perselisihan atau perbedaan.
Kita ketahui dengan pasti, bahwa manusia
diciptakan Allah Ta’ala berbeda. Dengan kebijaksanaan-Nya, manusia
dianugerahi beragam karakter, bahasa, bentuk fisik, warna kulit, dan
begitu banyak perbedaaan lainnya. Yang harus kita lakukan adalah
bagaimana menjadikan perbedaaan-perbedaan yang ada untuk sesuatu yang
positif, bukan sebaliknya perbedaan yang ada menjadi sebab munculnya
konflik.
Maka dalam hal ini, menyatukan hati lebih penting daripada menyamakan pikiran dan gagasan.
Proses mengubah perbedaan atau
ketidaksetujuan menjadi hal positif, sejatinya menunjukkan niat baik
sekaligus melihat permasalahan yang ada secara lebih komprehensif. Maka
dari itu, upaya untuk terus memahami seseorang yang berbeda pendapat
dengan kita adalah penting. Namun tentu tidak hanya terbatas pada hal
ini saja. Karena, seringkali perbedaan pendapat, kepentingan, cara
pandang atau pendapat, ternyata tidak bisa diselaraskan hanya dengan
mengetahui persoalan yang terjadi atau dengan memahami cara pandang
seseorang. Pada titik ini, jangan sampai kesimpulan sikap atau penilaian
yang muncul bisa menumpulkan kepekaan hati kita kepada yang lain.
Sisi lain yang perlu kita tonjolkan
ketika berusaha untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada adalah,
kita harus selalu fokus pada hal-hal yang kita setujui bersama, dan
berusaha menjalin kerjasama dalam kepentingan yang sama. Ketika ini bisa
direalisasikan, akan ada banyak peluang positif yang dapat diraih
bersama. Hal yang sama sebenarnya berlaku pula dalam hal-hal yang itu
menyangkut persoalan agama.
Oleh karena itu, dalam mewujudkan
upaya-upaya kooperatif tadi, diperlukan waktu serta perhatian kita. Dan
Al Quran dan Sunnah sesungguhnya telah memerintahkan akan hal ini.
Begitu juga pengalaman sejarah menunjukkan kepada kita, dalam interaksi
antar sesama yang didasari semangat kebaikan senantiasa memberikan hasil
terbaik. Juga memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kita mesti
bekerja sama di atas kesamaan prinsip-prinsip dan keyakinan serta untuk
mencapai kebaikan bersama.
Akan tetapi, kita tidak boleh meniadakan
perbedaan yang ada, entah itu perbedaan yang substansial ataupun tidak.
Kita tidak perlu terlalu sensitif dengan perbedaan yang ada, karena
bisa jadi hal itu justru akan menguasai pikiran dan perasaan kita.
Sehingga penting bagi kita untuk senantiasa menguatkan ikatan hubungan
yang sudah terjalin, agar perbedaan-perbedaan yang muncul tidak
melahirkan sebuah hubungan yang dibangun di atas perselisihan, penuh
rahasia, dan kepalsuan.
Hidup bukanlah sebuah pertempuran.
Dengan kata lain, bagaimana kita menyatakan ketidaksetujuan dan
perbedaan pendapat yang kita miliki secara beradab, sekaligus pula
menunjukkan persetujuan akan komitmen bersama.
Inilah sebuah sikap moral dan pendirian yang benar.
Sikap ini pula yang akan membedakan antara kebenaran yang tepat berdasarkan pemahaman dengan nafsu yang menipu karena egoisme semata. Sebuah sikap yang akan memberikan kemenangan dalam sebuah konflik abadi –sebuah konflik pada setiap diri kita dalam mengenyahkan hawa nafsu dan niat-niat terselubung yang kadang menyamar dalam wujud “niat baik”, dan maksud aslinya sulit diindentifikasi.
Sikap ini pula yang akan membedakan antara kebenaran yang tepat berdasarkan pemahaman dengan nafsu yang menipu karena egoisme semata. Sebuah sikap yang akan memberikan kemenangan dalam sebuah konflik abadi –sebuah konflik pada setiap diri kita dalam mengenyahkan hawa nafsu dan niat-niat terselubung yang kadang menyamar dalam wujud “niat baik”, dan maksud aslinya sulit diindentifikasi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى ٦ أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى ٧
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena Dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al ‘Alaq: 6-7)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat[1318] dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
(QS. Ghafir: 19)
(QS. Ghafir: 19)
Di sini, keikhlasan hati sangatlah
penting. Setiap upaya kita dalam menyelesaikan perselisihan yang
terjadi, membutuhkan ketundukan hati kita kepada Allah. Menghormati
hak-hak orang lain dan bersedia memberikan pintu maaf dan pemakluman
atas sikap yang menyakiti dan menghina, sekalipun cacian dan hinaan itu
ditujukan kepada kita.
Kita mesti ingat bahwa, berkata jauh
lebih mudah dibanding berbuat (beramal), Ketika kita harus berbuat
sesuatu baik itu dalam kehidupan pribadi, lembaga, masyarakat dan
negara, maka kita harus meniadakan segala bentuk kepicikan ego pribadi
(hawa nafsu) dan berusaha mengedepankan kejujuran serta integritas.
Terakhir, sebuah doa dari al Quran yang sudah seharusnya kita ingat dan kita panjatkan kepada Allah Ta’ala:
رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ
وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا، رَبَّنَا
إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“…Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan
saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.
Oleh: Ihsan ‘Athif
(diadaptasi dari artikel berjudul Learning How to be Reconciled to Disagree, karya Dr. Salman al Audah)
0 komentar:
Posting Komentar